Sejumlah budaya dan tradisi unik yang merupakan warisan dari leluhur atau masa lampau, masih berkembang dengan baik menjadi sajian menarik pada era modernisasi kekinian. Salah satu tradisi tersebut adalah acara makan bersama atau yang disebut megibung di Kabupaten Karangasem Bali. Tradisi ini seolah tidak lekang oleh waktu, hampir di setiap orang yang memiliki sebuah hajatan dan melibatkan orang banyak, pada saat menikmati acara bersantap maka tradisi megibung ini akan digelar. Bersantap bersama dengan cara Megibung ini memang sepertinya lebih diminati oleh para warga di Karangasem dibanding mereka menikmati acara bersantap ala prasmanan.
Budaya ataupun tradisi megibung sebenarnya tidak hanya di Karangasem saja, namun ada pada sejumlah tempat lainnya di Bali seperti Klungkung, bahkan juga beberapa tempat di pulau Lombok. Namun yang memang masih melaksanakan tradisi ini dengan cukup baik adalah Kabupaten Karangasem, dan hampir di semua wilayah kabupaten Karangasem atau Bali Timur ini masih menggelar acara Megibung dalam sebuah hajatan adat seperti saat acara pernikahan, potong gigi, otonan dan tiga bulanan anak, melaspas, acara piodalan, bahkan saat upacara Ngaben. Termasuk juga saat-saat acara gotong royong seperti membangun sebuah rumah warga yang melibatkan tetangga dan kerabat, pada saat acara bersantap dengan cara megibung.
Budaya dan tradisi Megibung ini sejatinya sudah ada sejak lama pada jaman kerajaan Karangasem, dan sampai sekarang masih terjaga lestari. Ada beberapa istilah dalam tradisi megibung, seperti “sele” artinya bagian dari kelompok orang yang bergabung dan duduk bersama untuk menikmati tradisi megibung, mereka biasanya duduk melingkar dengan jumlah peserta sekitar 6 orang, kemudian istilah “gibungan” adalah segepok nasi dengan alas gelaran (dari daun kelapa) dan ditaruh di atas dulang atau nampan, ada istilah “karangan” ini adalah lauk pauk seperti lawar, kekomoh, urab (nyuh-nyuh) putih dan barak, padamare, urutan, marus, balah dan sate, jenis lauk pauk ini bervariasi sesuai kemampuan.
Acara makan bersama ini memang unik, tidak ada perbedaan, duduk dalam kebersamaan, biasanya yang datang dalam satu hajatan berupa undangan adat adalah warga setempat, sehingga dalam satu sele mereka sudah saling kenal, mereka makan bersama sesekali sambil bersenda gurau dan bertukar pikiran, kesannya begitu santai, menambah persahabatan dan lebih mengenal lagi, dan jika gibungan (nasi) yang dimakan bersama habis adalah hal yang wajar untuk ditambah kembali, kalau lauknya (karangan) tidak boleh. Sehingga makan bersama dengan cara megibung memastikan pesertanya akan sangat puas, tidak ada rasa ragu ataupun malu untuk nambah lagi.
Pada saat makan, sebisanya agar tidak berceceran, apalagi berceceran di atas nampan tidak diperbolehkan, sehingga kesannya tidak makan sisa ceceran makanan orang lain. Andaipun makan berceceran itu harus diluar nampan. Walaupun tidak ada aturan tertulis dalam tradisi atau acara megibung, maka peserta megibung juga tidak boleh meludah, berdahak, bersin, berteriak, ketawa keras dan tata krama serta sopan santun lainnya, termasuk juga ketika salah satu peserta megibung sudah kenyang, tidak boleh meninggalkan tempat, mulai bersama-sama dan mengakhiri bersama-sama pula.
Artikel dikutip dari : http://www.balitoursclub.net/tradisi-megibung-di-karangasem/
No comments:
Post a Comment